Bumi pun selalu mengungkapkan rasa cintanya bahkan rindunya kepada Sang Maha Cinta. Langit dan seluruh penjuru semesta menyebut asma keagunganNya. Bergemuruh dalam kedamaian dan keindahan nyanyian merdu bersenandung kalimat-kalimat suci pujian kepadaNya. Tak lupa sang kekasihNya yang murni, tulus, terpuji juga disentuh dalam salam hangat rindu bersholawat dalam iringan tetesan-tetesan air yang turun dari mata-mata manusia yang sama sekali belum pernah melihat sosok mulia itu.

            Para orang tua melalui semangat dan energi cintanya sibuk menggambarkan kemulian Ahmad, Muhammad, Rasulullah, Habibullah kepada anak cucu mereka. Mereka berharap agar anak cucunya memiliki rasa cinta yang sama dirasakan oleh mereka kepada kekasih Allah, yang di setiap mengingatnya, bersholawat kepadanya, rindu ini terus mendesak menyesakkan dada dan memaksa air mata turun. Beliau Muhammad ibnu Abdillah telah mengajarkan kepada kita bagaimana mengaplikasikan cinta dalam setiap hembusan nafas kita dan kedipan mata kita. Cinta yang murni dan tanpa kontaminasi. Cinta yang setia tanpa nestapa. Cinta yang selalu fokus tanpa ambisius.

            Jika surat cinta itu telah disampaikan kepada ciptaan terbaikNya yaitu manusia, maka seharusnya manusia juga membalas surat itu dengan komitmen pengabdian setia selamanya kepadaNya. Surat itu DIA sampaikan dalam Adz Dzariyat ayat 56, “Wa Maa Khalaqtul Jinna Wal Insa Illa Liya’budun”.  Tulisan pesan cinta ini tertulis dalam mushaf-mushaf usang yang tertata rapi di muhola-mushola desa, namun kemurnian dan maha-dahsyat makna pesannya tetap terjaga sampai kapanpun. Sering sekali telinga kita menangkap kalimat itu, namun hanya telinga, bukan hati. Sehingga kita yag sering mengaku telah menemukan Tuhan, namun sering mengabaikan.

            Mandat dalam pesan itu adalah keharusan dan kewajiban kita untuk membalas cintaNya Allah kepada kita yang sangat tidak terhingga. Kehidupan kita secara keseluruhan adalah ruang untuk meluberkan cinta dan pengabdian hanya padaNya. Tidak tersisa sedikit pun, walau itu cuma seper-seratus ribu miliar mili meter persegi luasnya dalam ruang hati kita. Tidak tersisa ruang kosong untuk diisi yang selainNya.

            Maka “Lillah”, hanya untuk Allah apapun yang kita kerjakan, lakukan selama hidup ini (kecuali untuk sesuatu yang dilarangNya). Sehingga tidak hanya gerak yang bernuansa ibadah yang telah diatur oleh syari’at saja yang harus diniatkan dan diperuntukkan untuk dipersembahkan kepada Allah, namun semua yang kita lakukan dalam hidup mulai dari makan, belajar hingga bekerja mencari nafkah untuk keluaga. Namun parahnya pekerjaan dan aktivitas ritualistik ibadah seperti sholat, berpuasa, zakat, haji, sedekah, dan sejenisnya yang seharusnya paling Lillah, dan puncaknya Lillah, justru sering terbelokkan ke lighoirillah, selain Allah.

            Semakin mensosial ibadahya, dalam arti memiliki ruang yang luas untuk dilihat dan disaksikan orang, maka potensi lighorillah akan semakin besar. Ruang lighoirillah yang dimiliki puasa jauh lebih sempit dibanding ruang yang dimiliki haji. Ruang lighoirillah yang dimiliki sholat juga tentunya berbeda dengan ruang yang dimilki sedekah. Jika untuk sholat saja sering gagal lillah, bagaimana bisa meng-Lillahkan aktifitas makan. Makan sangat dipenuhi dengan hasrat dan nafsu, apalagi saat benar-benar lapar. Bisakah mengaplikasikan setiap suapan ingat kepada Yang Memberi Rizqi.

            Kadang sholat saja kita masih memandang pahala dan surgaNya. Allah dinomor-duakan. Padahal aplikasi dari Laa Ilaha Illallah kan, hanya Allah yang nomor satu, paling diprioritaskan, paling diorientasikan, paling difokuskan dan paling divisikan. Belajar untuk mengarahkan tidak ke pahala dan surgaNya saja sangat sulit, apalagi belajar menaklukkan nafsu dan keinginan-keinginannya.

            Sholat dhuha saja kadang dikomersilkan. Allah diminta untuk melancarkan bisnisnya, melancarkan pekerjaannya, memuluskan karirnya, meluluskannya pada tes dan ujian untuk pencapaian dunia. Sedekah saja juga ada udang di balik rempeyeknya, Karena ingin diterima di perguruan tinggi favorit, karena ingin lolos tes CPNS, karena ingin segera dipertemukan dengan jodohnya, dan lain-lain. Sebenernya tidak apa sih, tidak masalah, sah-sah saja. Toh kan memintanya juga ke Allah, bukan ke dukun atau jin. Cuman masalahnya ketika yang ada di dalam hatinya ini yang nomer satu adalah yang diminta, bukan siapa yang dimintai. Masalahnya itu terletak jika yang nomer satu adalah lolos CPNSnya bukan Allahnya. Yang salah itu ketika yang nomer satu adalah ingin kayanya bukan Allahnya. Yang kurang pas itu ketika yang nomer satu itu surga bukan Allahnya. Yang menjengkelkan itu ketika yang nomer satu adalah wanita yang ingin didapatkannya bukan Allahnya.

            Kalau dhawuhnya Mbah Kakung, “Ojok sampek kejebak nalikane sliramu dungo nyuwun maring Gusti Allah, ojok nganti opo sing kok suwun iku ndadekno sampeyan lali marang sing maringi”. Masih sangat terngiang dhawuh itu di hati ini.  Jadi memang harus ditata di hati kalau berdo’a memohon sesuatu kepada Allah harus diniati Lillah, karena Allah. Titik. Karena memang Allah memerintahkan kita untuk berdo’a kepadaNya, “Ud’unii Astajiblakum”.

            Ya Allah aku berdo’a kepadaMu karena memang engkau memerintahkan hamba-hambaMu untuk meminta kepadaMu. Maka ketika aku meminta kepada engkau untuk dilancarkan rizkiku, pekerjaanku, dan kecukupan bagi keluargaku, itu semata-mata karena aku ingin tidak ada sesuatu apapun yang mengganggu pikiran dan hati ini untuk selalu setia dalam lillah, setia dalam mengabdikan hidupku padaMu. Kira-kira seperti itu Mbah Kakung membimbing kami anak-cucunya.

            Namun, lillah pun juga masih terkesan belum lengkap nilai setianya kepada Allah. Ada satu konsep lain yang harus dilatihkan dan diaplikasikan dalam hati, yaitu billah. Merasa bahwa bisa melaksanakan sholat, bisa mengerjakan puasa, bisa membayar zakat, bisa bersedekah, bisa berhaji, bisa makan, bisa minum, bisa mengajar, bisa belajar, bisa jalan, bisa tersenyum, bisa membantu orang, menyenangkan hati orang, bahkan bisa menerapkan lillah pun itu semua karena titah, kuasa dan karena dibikin bisa, dimampukan oleh Allah sehingga bisa melaksanakan semua yang tersebut di atas.

            Lha sekarang ini keedanan zaman sudah gak ketulung. Bentuk paling edan dari zaman ini adalah banyak manusia yang lupa jika punya Allah dan Rasulullah. Dikiranya mereka bisa ambegan, bisa makan-minum, bisa ngudut ria, bisa ngopi, bisa haha-hihi-huhu, bisa begini-begitu adalah hasil jerih payah sendiri. Padahal satu hembusan nafas kita, satu kedipan mata kita, dan satu degupan jantung kita dalam memompa darah adalah tergantung takdirnya Allah. Kalau sedetik saja Allah tidak terlibat dalam peristiwa hirup-lepas nafas kita, wah bisa modar kita.

            Ia yang telah arif billah, merasa tidak bisa apa-apa, tidak mampu, tidak punya kekuatan, tidak punya kuasa. Ia merasa bisa jalan, karena dimampukan jalan oleh Allah. Ia bisa sholat karena dimampukan sholat oleh Allah. Ia bisa membantu orang karena dikehendaki dan dimampukan menolong oleh Allah. Bahkan ia mampu mengenal Tuhannya karena dimampukan mengenal oleh Tuhan. “Araftu Rabbii Bi Rabbii”. Maka hamba yang telah menempuh lillah-billah, akan setia dalam kecintaan kepada Allah. Ia bisa mencintai Allah karena cintaNya.       Kuteguk air sejuk dalam meja jamuanMu, ku tenggelamkan ke-aku-anku dalam samudera ke-esa-anMU. Ku berpasrah dalam ketiadaan yang benar-benar tiada. Ku rela menjelma menjadi nol, merasakan pekatnya ketiadaan dan kesemuan, hanya semata-mata ingin luruh dalam cintaMu. Jika telah luruh, maka “aku”ku tidak akan pernah ada. Dan ketiadaanku membawaku pada setia atas cintaMu. Wallahu A’lam Bish Showwab.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini