Madrasah memang usianya lebih muda dari sekolahan umum dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Kontestasinya dalam bidang pembelajaran dan pendidikan memang sejak kemunculannya masih tergolong rendah. Namun melalui naungan Kementerian Agama khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Madrasah terus memunculkan beberapa program-program inovasi untuk meningkatkan mutu dan kwalitas pendidikan di madrasah. Salah satunya dengan dicanangkannya Program Madrasah Riset Nasional (Promadrina) pada tahun 2013 yang di launching di Mataram oleh Menteri Agama, Surya Dharma Ali. Program ini sebagai upaya menumbuhkan kecintaan peserta didik terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) melalui kegiatan penelitian.
Namun jika kita menarik pembahasan riset dalam pemahaman dasar dan mencoba berfikir jernih terhadap hakikat dari pembelajaran dan kehidupan, maka kita akan menemukan bahwa ternyata riset sangat dekat dengan kehidupan kita. Walaupun secara akademis kita belum mampu menuangkan semuanya dalam metodologi dan sistematisasi yang telah distandarisasikan. Sejak wahyu pertama kali turun dan diterima oleh Rasulullah Saw berkenaan dengan perintah iqra’, hal itu mengindikasikan bahwa landasan dalam menjalani kehidupan adalah iqra’. Maka tatkala kita memahami pendidikan dengan setepat-tepatnya, kita akan menjumpai bahwa kita tidak akan bisa lepas dari yang sekarang bermunculan istilah baru mulai dari literasi hingga riset. Loh itu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas pendidikan.
Munculnya istilah sekolah aktif literasi
Jadi sebenarnya dari sisi lain dikatakan aneh jika bermunculan istilah “sekolah aktif literasi”, “madrasah riset” dan seterusnya. Seharusnya ketika satu lembaga pendidikan (sekolah ataupun madrasah) berkomitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka ia juga harus siap untuk menegakkan kegiatan literasi dan riset setegak-tegaknya. Bukannya semua itu bagian dari aktivitas pendidikan dan tidak dapat dipisahkan?. Ibaratnya aktivitas makan itu kan ada aktivitas yang membersamainya seperti mengunyah, menelan, merasakan, dan seterusnya. Maka tidak bisa kita menyebut aktivitas makan, jika kita hanya mengunyah saja, atau menelan saja, atau merasakan saja. Ketiganya harus ditegakkan dan dilakukan untuk bisa dikatakan sebagai makan dan mendapatkan kenikmatannya makan.
Jadi jika ada pendeklarasian “sekolah aktif litersi” dan “madrasah riset”, maka ibaratnya kita juga sedang mendekrasikan sebagai manusia dengan makan tipe pengunyah saja, makan tipe penelan saja, atau tipe icip-icip saja. Semoga dapat dipahami. Perlu saya jelaskan sedemikian rupa agar kita semuanya paham bahwa aktivitas literasi dan aktivitas riset sangat dekat dengan kehidupan kita. Selama kita hidup kita tidak bisa menghindarkan diri dari itu. Malah-malah jiak memutuskan diri untuk sekolah, belajar atau menjadi peserta didik, sudah pasti harus bersahabat dan mentradisikan literasi dan riset.
Sisi positif Madrasah Riset
Maka sisi positif dan husnudhon kita terhadap pendeklarasian sekolah aktif literasi maupun madrasah riset merupakan suatu bentuk komitmen, pengingat, alarm, cita-cita, target untuk membangunkan kembali aktivitas literasi dan riset sebagai aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar-mengajar lebih luasnya dalam khazanah pendidikan. Maka sangat tepat dikatakan bahwa riset bukan hanya konsumsi mahasiswa di Perguruan Tinggi saja, bukan hanya konsumsi para akademisi, namun juga harus dibudayakan saat masih belajar di madrasah tsanawiyah maupun aliyah bahkan tidak menutup kemungkinan juga tingkat ibtida’iyah. Semangat yang dibawa oleh program madrasah riset ini perlu untuk kita dukung, kita laksanakan, kita hayati dan seoptimal mungkin kita ambil manfaatnya dalam meningkatkan kwalitas pendidikan kita.
Maka jika riset ini membudaya dan benar-benar ditegakkan dalam aktivitas pendidikan, tak ayal jika akan menghasilkan generasi yang berfikir kritis, sistematis dan logis. Ujungnya adalah kemunculan generasi yang tidak mudah mengonsumsi mentah-mentah informasi yang masih belum jelas kevaliditasan dan kebenarannya alias hoax. Langkah-langkah sederhana yang bisa diterapkan dalam mengaplikasikan budaya riset dalam proses pembelajaran adalah:
- pertama, analisis lingkungan sekitar. Analisa terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar merupakan upaya untuk melatih kepekaan terhadap permasalahan sosial, istilahnya bisa juga dikatakan sebagai melek sosial. Jika telah terbiasa untuk melek sosial, maka bukan tidak mungkin akan lahir generasi literat yang berjiwa sosial.
- Kedua, hasil dari analisa terhadap lingkungan sekitar adalah ditemukannya beberapa permasalahan.
- Ketiga, otomatis jika telah menemukan beberapa permasalahan yang menjadi keresahan diri sendiri dan mungkin orang lain, maka peserta didik akan memunculkan pertanyaan bagaimana cara, upaya, usaha dan konsep yang bisa digunakan untuk menemukan solusi atas permasalahan tersebut.
- Keempat, peserta didik diminta untuk mengonsultasikan permasalahan tersebut kepada guru. Konsultasi tersebut bertujuan untuk mengkolaborasikan ide-ide berkaitan dengan desain penelitian peserta didik dengan konsep dan arahan dari gurunya. Kelima, yang terakhir tatkala peserta didik telah memahami alur, desain dan kerangka penelitiannya, baru ia atau mereka akan mencari informasi dan data dari berbagai sumber. Setelah mendapatkan informasi dan data yang cukup baru mereka para peserta didik akan bisa menyimpulkan atau mendapatkan jawaban atas permasalahan mereka.
Memahami Apa itu Riset?
Namun ibarat mencari tahu banyak hal di luar diri akan terasa hampa jika kita tidak tahu banya mengenai segala sesuatu yang ada di dalam diri. Kita akan lebih paham terhadap arah dan tujuan riset kita jika kita juga menggunakan aktivitas riset untuk menggali informasi dan data sebanyak dan seluas-luasnya yang tersembunyi dalam-dalam di diri kita. Ibaratnya cabai, jika si cabai paham kalau dia cabai dan segala hal mengenai cabai, maka ia akan memberikan manfaat secara optimal sebagai cabai. Namun jika belum bisa menerapkan aktivitas riset di dalam kedirian kita, otomatis cabai akan salah memahami dirinya. Misalnya ia menyangka dirinya adalah bawang putih. Maka otomatis ia tidak akan bisa pas dan tepat dalam memberikan manfaat. Maka metodologi terkait riset ini juga sangat perlu kita terapkan dalam usaha mengenali dan memahami kedirian kita. Sehingga kita bisa menempatkan diri kita, kita bisa mengoptimalkan potensi kita, dan akhirnya lebih pas dan lebih tepat dalam memberikan manfaat untuk orang lain dan lingkungan. Karena kita mengfungsikan diri kita sesuai dengan apa yang ada dalam diri.
Kesimpulan dari Madrasah Riset
Madrasah riset atau sekolah literasi merupakan deklarasi untuk membangkitkan kembali semangat keilmuan dalam diri generasi bangsa. Seperti penjelasakan di muka, bagaimana riset dan literasi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pendidikan. Terus belajar, belajar dan belajar. Karena semakin banyak yang kita ketahui, kita akan semakin merasa kurang dan sangat sedikit yang diketahui, sehingga secara terus menerus tanpa henti mencari data, informasi dan seterusnya sampai menemukan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa tanpaNya, bahwa manusia sangat lemah dan sangat tergantung kepada Tuhannya. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bish Shawwab.
Oleh : Agus Novel Mukholis (Guru MAN 2 Banyuwangi)