Sungguh merupakan sebuah keharusan jikalau agama membawa kita terhadap pengenalan diri sebagai manusia dan orientasi hidup kita kepada yang menciptakan kita. Agama tidak sesempit yang kita bayangkan yaitu perkara sholat, bersuci, taat, mengaji, bertausyiah dan hal-hal yang hanya terlihat dan ternilai oleh keterbatasan inderawi. Judul di atas mungkin sudah sering kita dengarkan dari ngaji kita kepada para sesepuh agama di kampung. Bagaimana perbandingan yang mencolok ternyata penilaian yang pas hanyalah dari yang Maha Berhak dan Adil menilai.

Saya jadi teringat semasa masih kecil, saat mendengarkan ceramah kakek saya, yang kebetulan beliau juga salah satu tokoh agama. Saya termenung, menegakkan badan sebagai tanda keseriusan berusaha merekam maksud dan makna dari penjelasan kakek. Saat itu beliau menjelaskan bahwa gegara urusan nyepil kayu di pagar mushola untuk nyutik slilit di gigi, itu bisa membuat urusan ruwet dan nrunyam dalam rangka masuk ke surganya Allah. Walaupun toh amalnya, ibadahnya dan semua kebaikannya sangat luar biasa. Namun bisa jadi gara-gara secuil kayu itu bisa menundanya untuk masuk ke Jannah-Nya. Subhanallah, begitu ketat penilaian Allah kepada setiap apa yang kita lakukan, se-sepele apapun itu.

Saya juga jadi teringat dengan kisahnya Ulama sekaligus Tokoh Intelektual Islam. Sang penulis karya besar Ihya’ Ulumuddin itu pernah saat lagi asyik-asyiknya menulis karyanya, ada lalat yang hinggap di botol tintanya. Lalat itu pun seketika menyita perhatiannya. Allah menganugerahkan kemulyaan kepada beliau. Sehingga yang beliau lakukan adalah membiarkan lalat itu meminum tintanya untuk beberapa saat sampai lalat itu kenyang. Setelah sang lalat kenyang, dia pun terbang meninggalkan botol tinta milik Imam Ghozali. Baru beliau mau kembali melanjutkan menulisnya.

Singkat cerita, yang membuat Imam Ghozali dimasukkan ke dalam surganya Allah bukanlah karya besarnya, bukanlah amal ibadahnya yang segunung, melainkan karena kasih sayangnya terhadap hewan sekecil itu, keikhlasannya membiarkan sang lalat meminum tintanya. Sama halnya dengan kisah seorang pelacur yang dibuat taubat oleh Allah di detik-detik ajalnya. Hanya karena ia memberikan minum kepada seekor anjing yang kurus kering. Dia menggunakan sepatu kotornya sebagai wadah air dan kemudian diminumkan kepada si anjing.

Jadi secuil kayu milik sang Kyai, lalat yang hinggap di botol tinta sang Imam Ghozali dan sepatu butut si pelacur merupakan barang remeh temeh yang memang dari situlah Maha Keadailan Allah berbicara. Seharusnya kita semua dibuat sadar. Betapa fenomena yang sedang marak terjadi hari ini. Bagaimana orang-orang berebut benar, dan saling menunjuk dengan mantab bahwa orang lain lah yang paling salah. Tidak pandang mereka yang dibilang berilmu, mereka yang dibilang panutan, semuanya terjangkit sama penyakit ananiyah. Bahkan kita sendiri tak luput dari penyakit tersebut. Mengaku-aku semua kebenaran, tanpa menyadari bahwa yang Maha Benar itu hanyalah Allah.

Filosofi jari telunjuk kita ketika menunjuk kepada orang lain bahwa mereka yang paling salah, seharusnya kita pakai dalam batiniah kita bersikap. Kita tentunya tahu jika satu jari telunjuk ditujukan kepada orang lain, ke arah mana jari-jari yang lain mengarah.

Ananiah ini penyakitnya manusia yang mulai muncul ke-diri-annya. Virus itu mulai muncul tatkala pertama kali kita punya identitas. Perasaan ingin diakui, ingin disanjung, bukankah perasaan tersebut manusiawi dimiliki oleh manusia, termasuk orang-orang seperti kita. Jadi hierarkinya, semakin tinggi kemulyaan yang disandang di mata manusia, akan semakin dahsyat virus tersebut menyerang. Nah, inilah yang menjadi penghalang kita bisa wushul atau sampai kepada Allah.

Apalagi hari ini di negeri tercinta kita ini. Antar pribadi saling serang, antar golongan saling serang dan lain sebagianya. Virus ini kelihatan remeh namun bisa mereduksi konsep “Ummah”. Tidak hanya mereduksi namun menghancurkan berkeping-keping. Akhir-akhir ini diskursus keislaman kita sudah jauh bahkan tidak pernah menyentuh konsep ‘ummat’. Padahal dari konsep inilah dari berbagai golongan, berbagai jama’ah, berbagai kelompok, berbagai madzhab, berbagai organisasi dapat bersatu di bawah payung ketauhidan. Bagaiamana tidak, Tuhan kita, Tuhan mereka kan sama. Seharusnya bersatu.

Namun sekarang yang sering kita dengar hanyalah Ukhuwah Islamiah. Semua pada sibuk menguatkan identitasnya dan golongannya masing-masing bahwa yang paling Islam adalah mereka. Konsep Ummat ini telah diabaikan. Maka dari itu, sudah sepantasnya jika itu menjadi sasaran empuk para oknum untuk menggiring nama agama ke pentas perpolitikan. Membawa nama agama sebagai senjata ampuh untuk menyerang kubu lawan.

Semoga kesadaran bahwa kita adalah manusia ini semakin bisa dipahami oleh manusianya sendiri. Kalau hakikatnya manusia yang seharusnya sadar, kita bukan siapa-siapa, kita tidak berhak mengaku-aku apapun yang bukan hak kita. Kita mau diapakan sama Tuhan yang menciptakan kita itukan terserah Tuhan. Apalagi kok sampai mengaku-aku kebenaran. Mengaku-aku kita ada secara eksistensial itupun dalam sufi sangat berbahaya. Apalagi mengaku-aku paling benar, mengaku-aku paling wakil Tuhan, dan lain sebagainya.

Semoga kita semuanya dijauhkan dari virus ananiah. Sejatinya kita ini berawal dari ketiadaan, dan sekarang sampai besok menghadap Tuhan sejatinya kita tetap tidak ada, semuanya hanya manifestasi Tuhan. Kita merasa nol, merasa bukan apa-apa maka dengan demikian potensi untuk bisa sampai kepada Tuhan bermesraan denganNYA akan bisa dicapai.

Penulis : Agus Novel Mukholis (Guru MAN 2 Banyuwangi)

Tulisan ini sudah di muat/ di terbitkan di Radar Banyuwangi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini